Beranda | Artikel
Bijak dan Hati-hati menjadi Wartawan kajian
Rabu, 18 April 2018

Di zaman sosmed sekarang ini, semua punya wadah untuk menyebarkan berita dan pemikirannya, bahasa lainnya adalah semua bisa menjadi “wartawan dadakan”. 

Kita ucapkan alhamdulillah, cukup banyak saudara kita yang bersemangat menghadiri majelis ilmu kemudian menyebarkan hasil kajian dengan menulisnya kembali dan menyebarkan di sosial media. Akan tetapi, perlu diperhatikan adab dalam menyebarkan ilmu dan fikh menyebarkan berita.

Tidak jarang ada kasus (maaf) “wartawan kajian” menyebarkan hasil kajian dalam bentuk kesimpulan/ringkasan tulisan akan tetapi membuat “heboh” alias “gaduh”, karena:

1. Hasil kesimpulannya membawa nama besar seorang ustadz tapi sayangnya hasil tulisan kesimpulannya tidak tepat alias salah, tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan ustadz dalam kajian

2. Hasil kesimpulannya tidak layak untuk menjadi konsumsi umum sehingga membuat bingung sebagian orang awam dan dimanfaatkan mereka yanh benci pada dakwah

3. Hasil kesimpulannya menyebut-nyebut nama tokoh tertentu dengan isu sensitif

4. Hal yang dibahas adalah hal-hal yang besar dan membuat heboh seperti tahdzir, masalah pemerintahan yang menyangkut hajat banyak orang atau masalah “dunia persilatan sosmed”

Perlu diperhatikan bahwa tidak semua berita gembira itu harus disampai, disebarkan  dan jadi konsumsi publik. Perhatikan hadits berikut di mana Mu’adz bin Jabal mendapatkan berita gembira (bahkan sangat mengembirakan) dari Nabi shallallahu ‘alaihu wa sallam, kemudian beliau minta izin untuk disebarkan, tapi dicegah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu mashlahat.

ﻋَﻦْ ﻣُﻌَﺎﺫِ ﺑْﻦِ ﺟَﺒَﻞٍ ﻗَﺎﻝَ ﻛُﻨْﺖُ ﺭِﺩْﻑَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻋَﻠَﻰ ﺣِﻤَﺎﺭٍ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟَﻪُ ﻋُﻔَﻴْﺮٌ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﻳَﺎ ﻣُﻌَﺎﺫُ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺣَﻖُّ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻣَﺎ ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ‏» . ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ . ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻓَﺈِﻥَّ ﺣَﻖَّ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻻَ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﻌَﺬِّﺏَ ﻣَﻦْ ﻻَ ﻳُﺸْﺮِﻙُ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ‏» . ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻓَﻼَ ﺃُﺑَﺸِّﺮُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻻَ ﺗُﺒَﺸِّﺮْﻫُﻢْ ﻓَﻴَﺘَّﻜِﻠُﻮﺍ ‏»

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata, “Aku pernah membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas keledai yang diberi nama ‘Ufair.
Beliau bertanya,
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba dan apa hak hamba yang akan Allah tunaikan?”
Mu’adz berkata,
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu .”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba, hendaklah ia menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan hak hamba yang akan Allah tunaikan yaitu Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa pun.”
Mu’adz berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah aku boleh memberitahukan kabar gembira tersebut pada yang lain?
Beliau menjawab,
“Jangan kabari mereka. Nanti malah mereka malas beramal.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Saat itu belum boleh disebarkan karena manusia kebanyakan akan “malas beramal”, ini adalah “taqyid atau syaratnya”. Boleh disebarkan, apabila manusia tidak “malas beramal” atau dijelaskan dengan sejelas-jelasnya:

Syaikh Ubaidillah Al-Mubarakfuri menjelaskan,

ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻛﺎﻥ ﻣﻘﻴﺪﺍً ﺑﺎﻻﺗﻜﺎﻝ ، ﻓﺄﺧﺒﺮ ﺑﻪ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺨﺸﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻟﻚ ، ﻭﺇﺫﺍ ﺯﺍﻝ ﺍﻟﻘﻴﺪ ﺯﺍﻝ ﺍﻟﻤﻘﻴﺪ

“Larangan ini terikat/tergantung dengan “bersandar dan malas beramal”, boleh dikabarkan pada mereka yang tidak dikhawatirkan akan “bersandar dan malas beramal”. Jika hilang sebab ini, maka boleh disebarkan”. (Mir’atul Mafatih 1/93)

Yanh boleh menyebarkan berita yang besar dan terkait dengan hajat orang banyak adalah mereka yang ahli dalam hal ini, semisal ulama mengenai hal agama dan waliyul amr terkait dengan pemerintahan. Tidak boleh semua orang asal saja menyebarkan berita, harus ahlinya dan tahu mashalahat dan mafsadatnya dengan pertimbangan dan kebaikan bagi kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).”(An-Nisa: 83)

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه

“ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan  perkara tersebut kepada Rasulullah [pemerintah] dan yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuan, peneliti, penasehat dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya. Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya.(Taisir Karimir Rahmah hal 170, Dar Ibnu Hazm)

Apakah tidak boleh menyebarkan hasil atau catatan kajian secara total?
Jawabannya: boleh saja, asalkan memperhatikan adab dan fikh menyebarkan berita dan yang terpenting, lebih baik kita konfirmasi ke ustadz tersebut agar memeriksa catatan dan kesimpulan kita sekaligus izin menyebarkan karena membawa-bawa nama ustadz tersebut

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan berkah dalam ilmu dan dakwah


@ Yogyakarta Tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com




Artikel asli: https://muslimafiyah.com/bijak-hati-hati-menjadi-wartawan-kajian.html